Samarinda Tidak Layak Jadi Ibukota

Samarinda Tidak Layak Jadi Ibukota

Laporan Wartawan Tribun Kaltim, Doan Pardede

TRIBUNNEWS.COM SAMARINDA, - Sidang gugatan warga negara (citizen law suit) dari Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) kembali di gelar di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda, Rabu (26/2/2014). Agenda sidang kali ini adalah mendengarkan keterangan saksi ahli lingkungan dan perubahan iklim dari Unmul Samarinda, Prof DR Deddy Hariyanto.

Ada beberapa catatan yang yang disampaikan Deddy akibat dari aktifitas pertambangan batubara dan dampak buruknya terhadap lingkungan dan iklim khususnya di Samarinda. Ia juga menyoroti buruknya kebijakan pengelolaan lingkungan yang diambil para kepala - kepala daerah. Salah satu yang paling berpengaruh signifikan kata Deddy adalah luasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang mencapai 71 persen dari luas kota Samarinda itu sendiri. Luasan IUP inilah salah satu indikator yang menurut Deddy membuat kota Samarinda tidak layak menjadi ibukota Kaltim. Sebuah ibukota kata Deddy, harus menjadi pencontohan bagi daerah lainnya di Kaltim.

"Walau pun mungkin dari 71 persen itu belum di eksploitasi tapi itu kan mempunyai potensi, satu. Yang kedua, 71 persen itu ditentukan berdasarkan tata ruang atau tidak?," kata Deddy yang sudah mengikuti konvensi perubahan iklim mulai dari Meksiko, Afrika Selatan, Quatar, Jerman, Miami, dan Brazil ini.

Belum lagi menurut Deddy, berbicara apakah yang sudah didapat Samarinda dari tambang batu bara selama ini bisa mengembalikan dampak kerusakan lingkungan yang sudah terjadi saat ini.

"Jujur, Samarinda sudah sangat mengkhawatirkan," kata Deddy.

"Jadi saya berharap, ini merupakan suatu sosialisasi agar masyarakat Samarinda harus teriak, beraksilah, jangan begini saja," tambahnya.

Ditegaskan Deddy, kerusakan yang ada ini bukan berdampak hanya dalam waktu dekat melainkan terus menerus selama ratusan tahun, seperti yang terjadi di Australia. Untuk Samarinda sendiri kata Deddy, reklamasi yang jelas - jelas menjadi tanggungjawab pengusaha masih diabaikan.